Beberapa waktu lalu, seorang teman menghubungiku. Obrolan kami cukup panjang, mulai dari hal-hal ringan hingga topik yang sedikit ‘berat’.
Dalam chat-nya, ia berkata, “Aku kok merasa ada yang ‘hilang’ dariku ya, Mbak.”
Lalu ia melanjutkan, “Setelah menikah, aku memutuskan berhenti kerja demi mengurus keluarga,” katanya. “Tapi sekarang aku malah bingung. Seperti... aku ini siapa, ya? Di rumah cuma bengong, bingung mau ngapain. Aku merasa nggak berguna.”
Sebelumnya, dia adalah sosok wanita karier yang aktif, sibuk ke sana kemari, penuh semangat mengejar target dan passion.
Kini, di rumah yang sepi dengan rutinitas domestik yang berulang-ulang membuatnya merasa terasing dengan dirinya sendiri. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, dan sulit dijelaskan.
Pernahkah Anda juga merasakan hal yang sama?
Ketika perubahan besar dalam hidup justru membuat bertanya-tanya tentang siapa dirimu sebenarnya?
Masa Transisi Itu Berat, Tapi Wajar
Dalam psikologi, ada istilah “life transition” perubahan besar dalam hidup yang menuntut kita untuk menyesuaikan diri secara emosional, mental, bahkan fisik.
Pindah kota, menikah, menjadi orangtua, atau berhenti dari pekerjaan, semua ini bisa memicu krisis identitas sementara.
Mungkin sebelumnya kita merasa percaya diri, tahu arah hidup. Tapi saat semua berubah, rasa bingung, kosong, bahkan kehilangan motivasi bisa menyerang.
Perubahan besar membutuhkan waktu untuk beradaptasi, dan tidak ada standar waktu “seharusnya berapa lama” untuk pulih dari rasa kehilangan arah itu.
Merasa tidak berguna, merasa seperti “tidak produktif” setelah berhenti bekerja, adalah bagian dari proses itu.
Perasaan itu valid. Ia hadir bukan untuk menghakimi kita, tapi untuk mengundang kita mengenali diri sendiri lebih dalam.
Bukan Pekerjaan yang Membuat Kita Berharga
Seringkali tanpa sadar, kita menilai diri sendiri dari apa yang kita kerjakan atau seberapa banyak hasil yang bisa kita tunjukkan ke dunia.
Saat bekerja, kita bisa dengan mudah mengukur kontribusi: ada gaji, ada proyek selesai, ada penghargaan.
Namun ketika peran bergeser ke ranah domestik, pengakuan itu tiada.
Tidak ada “promosi” setelah mencuci piring. Tidak ada “bonus” setelah mengasuh anak seharian, dan sebagainya.
Padahal, usaha yang kita lakukan sama, bahkan mungkin lebih besar, dalam bentuk cinta, kesabaran, dan pengorbanan.
Nilai diri kita tidak bergantung pada status pekerjaan.
Nilai diri kita hadir karena kita hidup, karena kita mencintai, karena kita memberi.
Apa pun bentuknya!
Sebuah kutipan sederhana dan sangat menyentuh:
“You are enough, even when the world is silent about it.”
Kamu cukup, bahkan saat dunia tidak bertepuk tangan untukmu.
Menciptakan Makna Baru di Kehidupan yang Baru
Berhenti bekerja bukan berarti hidup berhenti berkembang. Ini mungkin justru undangan dari semesta untuk menciptakan definisi baru tentang sukses dan bahagia.
Ada banyak cara untuk tetap merasa hidup, produktif, dan bermakna di fase baru ini:
- Eksplorasi hobi lama atau baru
Menggambar, menulis, merajut, memasak, berkebun, baking, biarkan kreativitasmu kembali bernapas.
- Belajar skill baru dari rumah
Ada banyak kursus online gratis atau berbayar yang bisa dijajal. Belajar keterampilan baru, fotografi, coding, blogging, pengembangan diri, atau bahkan manajemen keuangan pribadi.- Volunteer kecil-kecilan
Membantu komunitas online, ikut project sosial dari rumah, atau menjadi bagian dari gerakan kecil yang bermakna.
- Membangun support system
Bergabung dengan komunitas perempuan, grup hobi, atau sekadar menghidupkan obrolan hangat dengan teman-teman.- Membuat tujuan kecil harian
Tak perlu muluk-muluk. Kadang tujuan sekecil “hari ini aku akan merapikan sudut rumah yang sudah lama diabaikan” sudah cukup membuat hati terasa lebih penuh.Intinya, makna hidup tidak harus datang dari panggung besar.
Ia bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang kita lakukan dengan penuh kesadaran dan cinta.
Saat Berhenti Berlari, Kita Menemukan Diri
Aku teringat delapan belas tahun silam ketika aku pun memutuskan untuk tidak berkarier lagi dan menjadi full time mom.
Memang sih awalnya bingung, mau ngapain ya setelah suami pergi kerja? Setelah semua pekerjaan rumah beres dan anak-anak tidur?
Begitu terus hingga sepuluh tahun pernikahan. Setelah melewati masa-masa penuh kebingungan, aku mulai perlahan menata diri.
Mengupgrade ilmu, mengupgrade diri, dan mencoba hal baru. Dengan mengikuti beberapa kelas online, hingga menemukan passion yang saat ini menjadikanku selalu bahagia dan penuh semangat melewati hari-hari sebagai full time mom.
Blogging, menulis jurnal, menulis cerpen, bernyanyi, menyusun planning/project keluarga, dan segala hal lain yang aku minati. Hari-hari kosong itu mulai terisi, bukan oleh kesibukan semata, tapi oleh kehadiran diriku sendiri.
“Aku sadar, bahwa aku tetap berharga. Bukan karena pekerjaanku, tapi karena aku ini aku.”
Perjalanan transisi memang tidak selalu mudah. Ada luka, ada ragu, ada hari-hari di mana kita ingin menyerah. Tapi di balik semua itu, ada undangan lembut untuk mengenal diri lebih dalam.
Untuk mencintai diri bukan karena pencapaian, melainkan karena keberadaan kita yang apa adanya.
Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tapi tentang seberapa dalam kita hadir untuk diri sendiri.
Dan kadang, saat kita berhenti berlari, di sanalah kita menemukan diri yang selama ini kita cari.
Perjalanan kembali ke diri sendiri memang tidak selalu mulus. Ada hari-hari penuh tangis, hari-hari penuh keraguan. Tapi di setiap langkah kecil itu, ada keberanian untuk tetap bertumbuh.
Jika kamu sedang berada di fase ini, peluklah dirimu sendiri.
Perjalananmu valid. Ceritamu berharga. Dan perlahan, kamu akan menemukan bahwa dirimu jauh lebih kuat daripada yang pernah kamu bayangkan.
“Di tengah sunyi perubahan, kamu sedang membangun dunia kecilmu sendiri. Dunia yang penuh cinta, makna, dan keberanian.”
Tetap semangat dan semoga bermanfaat, ya.
Have a nice day!
Tulisannya menghangatkan hati. Jadi ibu rumah tangga memang nggak mudah, tapi tetap bisa berkarya luar biasa
ReplyDeleteBener banget. Belajar dari apa yang belum dipelajari emang harus. Penting untuk zaman skrang. Serba teknologi yang semakin maju ...
ReplyDeleteIbu rumah tangga dan wanita karier sama-sama profesi hebat yang tak perlu diperdebatkan. Yang penting perempuan paham kodratnya dan pastinya madrasah utama itu adalah orangtuanya sendiri. Aktivitas bermanfaat kini banyak banyak bisa dipelajari dan menjadi usaha sebagai pemasukan rumah tangga yang bikin happy :)
ReplyDeleteIhh, aku ngerasa banget ini mbak. Awal-awal dua-tiga bulan tuh biasa aja malah enjoy, tapi pas udah setengah tahun jadi IRT tuh dramanya mulai kelihatan. Yang bosen lah, yang kesepian lah, endebres, endebres. Makanya perlu ada 'challenge' ke diri sendiri ketika masa-masa ini, misal eksplore apa yang kita suka, bisa masak atau nge-blog. Tapi, beneran deh transisi dari ibu pekerja ke IRT tuh baru kerasa setelah beberapa waktu. :D
ReplyDeleteTerima kasih banyak... Penjelasan dan motivasinya mak jleb banget. Sangat mengena. Jadi merasa saya tidak sendiri sperti ini
ReplyDeleteSaya jadi teringat salah seorang teman yang pernah seperti ini. Saya minta untuk dipikirkan ulang dengan keputusan. Juga mencoba cari aktivitas selain keseharian menjadi IRT. Tapi, kalau tetap gak nyaman, ya mungkin memang lebih baik kembali bekerja.
ReplyDeleteAku pernah mengalami masa-masa ini, Mbak. Berat memang tapi harus dilewati, sesikit banyak aku juga melakukan tipsnya Mbak. Terima kasih ya, aku jadi bernostalgia dengan masa-masa itu.
ReplyDeleteTulisan ini sangat relevan dengan pengalaman banyak wanita. Krisis identitas setelah berhenti karier itu nyata, dan tipsnya membantu banget. Ingat, nilai diri tidak bergantung pada pekerjaan, tapi pada keberadaan kita yang bermakna. Semoga banyak yang terbantu setelah membaca tulisan ini yah
ReplyDeleteRelated banget dengan cerita hidup saya yang bertransisi dan bertransformasi memulai lembar baru dalam hidup. Perlu perjuangan dan harus berdamai dengan diri sendiri.
ReplyDeleteSemua memang butuh adaptasi dan waktu untuk bisa berproses menerima diri sendiri apa adanya. Memahami bahwa diri kita berharga sebab memang berharga. Bukan sebab pekerjaan kita.
ReplyDeleteSaya juga pernah dalam posisi itu, bingung mau ngapain setelah resign dari kerja kantoran. Setelah anak-anak berangkat ke sekolah, kerjaan rumah selesai, jadi bingung mau ngapain lagi.
ReplyDeleteAkhirnya mutusin untuk mulai nulis di blog. Alhamdulillah masih nulis di blog sampai sekarang.
Betul itu...Perjalanan transisi memang tidak selalu mudah. Tapi dengan niat, semangat dan tekad yang kuat akan bisa kita jalani, nikmati, dan syukuri..
ReplyDeleteTeddy sangat tersentuh membaca tulisan Kakak tentang transisi dari wanita karier menjadi ibu rumah tangga.
ReplyDeleteDi tengah kebingungan dan krisis identitas yang kamu bagikan—yang muncul ketika tiba-tiba merasa ‘aku ini siapa?’ jadi merasa paham.
Semoga sehat selalu ya Kakak.
Beruntungnya orang-orang yang mempunyai support sistem terbaik ketika sedang beradaptasi dengan dunia baru, apalagi dunia yang berbeda dari dunia kerja menjadi ibu rumah tangga, pasti sangat membantu sekali untuk menguatkan diri dengan brand new you
ReplyDeleteTetap semangat ya Kak! You will be doing well!
ReplyDeleteKebayang sih, pasti bukan hal yang mudah untuk menjadi ibu rumah tangga. Apalagi yang full time di rumah
jleb banget kata-katanya mba April, saat berhenti berlari kita justru menemukan jati diri kita, ini saya banget mba, saat behenti mengenar banyak hal justru saya menemukan aa yang saya mau, kaena saya lebih tenang memikirkan apa yang saya mau dan saya sukai, ternyata selama ini saya mengejar banyak hal yang bukan keinginan saya
ReplyDeleteKaaaaakk.. Sangat menyentuh dan inspiratif! Menemukan kembali makna diri di fase ibu rumah tangga sungguh penting. Karena Ibu layaknya poros keluarga, bahagianya ibu, bahagianya semua anggota keluarga.
ReplyDeleteSepertinya, apa yang dirasakan temen kakak adalah perasaan universal perempuan yang berada dalam masa transisi after marriage ya kak.
ReplyDeleteTapi bagaimanapun akhirnya, semoga diberikan kebahagiaan di dalam keluarga dan diri pribadi