aprilhatni.com
aprilhatni.com

Romansa di Jalan Ambarawa

romansa di jalan ambarawa

Terik Matahari kian menyengat, sesekali hembusan angin menyapu wajah lelahku. Dari jauh nampak samar sosok seorang yang sudah tak asing lagi bagiku. Lelaki bermata elang dengan senyumannya yang selalu menggetarkan dada. Aku nggak kenal siapa dia dan di mana tempat tinggalnya.

Dialah seorang laki-laki yang dulu sering kulihat di depan kelasku. Sudah lama aku tidak menjumpainya di depan kelas seperti biasanya, kira-kira hampir tiga tahunan.

Aku yang suka mencuri pandang di balik jendela kelas, menyimpan rasa dan harapan padanya bahwa suatu saat aku bisa memilikinya. Meskipun saat itu aku sudah mempunyai kekasih, namun aku tak kuasa membendung perasaan yang membuncah ini kepadanya.

Ada rasa yang tak biasa ketika setiap kali bertemu dengannya, dan rasa ini belum pernah aku rasakan sebelumnya, ketika bertemu dengan Rama, kekasihku. Jantungku selalu berdegup kencang hingga aku merasakan panas dingin ketika melihatnya. Aku yakin ini adalah perasaan cinta yang sebenarnya.

Dan kemarin, ketika kami bertemu tidak sengaja di Jalan Ambarawa, aku pun kembali merasakan perasaan yang sama. Aku terpesona melihatnya begitu gagah mengendarai sepeda motor Tiger. “Hah, cowok ini lagi. Ternyata masih ada di sini ya?” gumamku.

Aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka ini, dari jauh aku berusaha menatapnya dalam-dalam, seolah memberi kode dan berharap doi paham maksudku. Ah, ternyata dia pun melakukan hal yang sama, menatapku seolah memendam rasa rindu padaku.

“Dari mana?” sapanya sambil ia menghentikan motornya.
“Dari kampus.” aku jawab dengan manja.
“Aku boleh ke kost-an mu?” tanyanya lagi.
“Emmm..bo..boleh. Aaa... Yuk!” jawabku agak grogi.

Tak lama, kami pun sampai kost. Memang jarak antara kampus dan kost hanya beberapa meter saja sih. Rasanya bagaikan mimpi, ketika sang pujaan duduk di samping. Masih di kondisi yang sama, pandanganku terkunci padanya. Bahkan ketika dia mengulurkan tangan dan mengajakku berkenalan, aku tak tahu.

“Hey, kita belum kenalan loh!” seraya dia menggoyangkan tangannya dan membuyarkan pandanganku.
“Oh iya, maaf. Namaku Leyna, kamu sendiri siapa?”
“Aku Rasyid, Anwar Rasyid.” jawabnya.
“Oh Ok. Kita dah lama nggak ketemu yah?” tanyaku padanya.
“He em. Kamu kuliah di sini juga?”
“Iya” jawabku.
“Loh, sama dong. Kamu ambil jurusan apa?” tanyanya lagi.
“Psikologi, kalau kamu?”
“Kalau aku di Teknik sih.”

Dan masih banyak obrolan lainnya waktu itu. Saking asyik ngobrol dengannya, bahkan aku nggak merasakan lapar padahal biasanya jam segitu perutku sudah keroncongan.

Sudah lama aku menaruh harap kepada Rasyid, meskipun aku sendiri sudah mempunyai Rama. Pertama kali aku melihatnya sewaktu di perpustakaan Kampus, namun kala itu kami hanya saling berpandang selintas saja.

Kemudian kali kedua aku melihatnya di depan kelasku, seolah sedang menunggu seseorang, namun ketika jam kuliah berakhir aku sudah tidak melihatnya lagi.

Dan ini adalah kali ketiga aku melihatnya kembali, dimana aku sudah lama sekali tak melihatnya, kira-kira tiga tahunan. Wajar saja kalau aku bagaikan seorang yang menahan rindu pada kekasih.

Setelah ngobrol sekian lama, saling mengenal satu sama lain. Akhirnya ia pun menanyakan hal yang aku belum pernah terbayangkan sebelumnya.

“Leyn, kamu mau nggak jadi kekasihku?”

Namun aku hanya terdiam seribu bahasa, kaget dan sangat terharu hingga tak terasa air mataku keluar.

“Kok, kamu menangis sih? Kamu sedih?” tanyanya.
“Nggak sedih, say. Aku terharu. Aku sebenarnya sudah lama berharap padamu, namun aku nggak mengenalmu, apalagi sudah lama nggak menjumpaimu lagi dan aku pikir kamu sudah nggak di sini. Tapi kini, harapanku menjadi kenyataan. Kita bertemu dan kamu menyatakan cinta padaku, bagaimana aku tidak terharu?” jawabku.
“Sudah ya nangisnya, aku nggak tega melihat cewek nangis.” pintanya sambil membasuh air mataku.

Sebenarnya aku sendiri bingung ketika dia menyatakan perasaannya padaku. Aku bingung dengan kondisiku saat itu. Nggak menerimanya, itu rasanya nggak mungkin karena aku merasa membohongi diriku sendiri yang sejak lama berharap untuk bersamanya.

Namun di sisi lain, aku merasa mengkhianati Rama, kekasihku yang jauh di sana. Bagaimana nanti jika ia tahu bahwa aku sudah mendua, bagaimana pula caranya aku memutuskannya?

Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku dan membuatku merenung hampir semalam. Akhirnya aku pun hanya bisa pasrah dengan kondisi yang ada, “Ah, sudahlah. Selama belum ada Janur kuning melengkung, aku bebas memilih siapa yang akan menjadi pasanganku kelak. Aku pun nggak tau jodohku Rama atau Rasyid.”

Waktu pun kian berlalu, aku selalu melalui hari-hariku dengannya. Jalan Ambarawa seakan menjadi saksi bisu kebersamaaan kami. Dan suatu saat Handphone ku berdering, aku tau bahwa itu telpon dari Rama, namun aku sengaja nggak mengangkatnya.

“Kok nggak diangkat?” tanya Rasyid padaku dengan nada heran.
“Nggak apa-apa kok, paling juga miscall aja sih. Nggak penting.” jawabku untuk mengalihkan rasa curiganya.

Semenjak menjalin hubungan dengan Rasyid, aku sudah jarang sekali mengangkat telpon dan membalas SMS dari Rama. Pikiranku semakin kacau dan aku merasa semakin bersalah dengannya.

Inginku menjelaskan pada Rama tentang hal ini, namun ada rasa iba, nggak tega. Pasalnya, dulu pernah aku mencoba memutuskannya karena satu hal, namun ia sujud dan menangis, memohon padaku untuk tidak memutuskannya.

Di sisi lain, aku pun merasa bersalah pada Rasyid karena ketidakjujuranku padanya. Seharian aku mengurung diri di kamar. Sungguh, aku lelah dan bingung. Lamunanku buyar ketika ada yang memanggilku dari lantai bawah.

“Mbak Leyna, ada yang nyariin tuh!”
“Ah, pasti itu Rasyid.” pikirku.

Rasyid memang biasanya sering mengantar dan menjemputku setiap aku ada jadwal kuliah. Namun untuk hari ini aku sengaja nggak mau menemuinya dulu, perasaan bersalah padanya makin menghantuiku. Dan aku berpesan pada adik kost untuk tidak memberitahukan keberadaanku, jika doi datang ke kost.

Kondisi seperti ini pun berlangsung beberapa hari, aku tahu Rasyid sedang linglung mencariku, namun aku sengaja ingin menenangkan diri. Telpon maupun SMS darinya juga nggak kubalas. Hingga hubungan kami nggak jelas arahnya, kami tak saling tak bertemu lagi.

Aku sudah nggak melihatnya lagi, kabarnya dia sudah lulus dan kembali ke kampung halamannya. Aku benar-benar merasa berdosa dengan sikapku padanya. Sementara hubunganku dengan Rama kian hambar, ah aku nggak peduli.

Jalan Ambarawa, aku menyusurinya lagi, mengingat kembali pertemuanku padanya, maafkan aku Rasyid. Aku sangat pengecut, nggak berani mengungkap semuanya padamu. Karena aku nggak kuasa untuk mengatakannya, semoga kamu di sana selalu bahagia meskipun tanpa aku.

8 comments

  1. Ada sesuatu antara Aku dan Kamu di Jalan Ambarawa. Siapa yang bisa menahan gelora jatuh cinta? Semesta pun memakluminya. Perihal pada akhirnya bersama atau tidak, itu hak prerogatif sutradara dari segala sutradara.

    Ide cerita yang keren Kak. Judulnya bikin gemes...

    ReplyDelete
  2. ini tugas fiksi mini untuk chalenge 5 bukan kak?

    ReplyDelete
  3. sediihhhhh, ayo perjuangkan cintamu
    putuskan saja Rama

    ReplyDelete
  4. Mbak...kok tulisannya selalu kusukaaaa.....

    ReplyDelete
  5. ambarawa.. hmmmm mengingatkanku padanya

    ReplyDelete
  6. Ambarawa, humm. Aku punya kenangan juga di jalur Salatiga-Ambarawa. Kadang kami kurang kerjaan main ke Muncul hanya untuk menikmati bubur ketan atau ketan duren ya. Maaf lupa 😂

    ReplyDelete
  7. Apik nian ceritanya mb, enak banget dibacanya

    ReplyDelete
  8. Terima kasih sudah berkenan berkunjung ya, Kak...

    ReplyDelete