Diam kamu, benar emas.
Kalimat ini mungkin pernah terdengar seperti bentuk penekanan, semacam cara membungkam. Tapi siapa sangka, dalam dunia sains dan mindfulness, diam justru bisa menjadi pintu masuk bagi penyembuhan emosional dan kekuatan imun tubuh.
Bayangkan ini: kamu sedang duduk diam, setelah ledakan emosi hebat. Mungkin karena pertengkaran, kehilangan, atau ketidakadilan yang begitu nyata.
Nalurimu ingin membalas. Ingin bicara. Ingin menuntut kejelasan. Tapi di momen itu, kamu memilih diam.
Apakah kamu salah?
Ternyata tidak.
Reaktif Itu Manusiawi, Tapi Tidak Selalu Menyembuhkan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar dorongan untuk “jangan dipendam” atau “jangan diam saja kalau disakiti.”
Memang benar, bersuara itu penting. Tapi tak banyak yang tahu bahwa diam juga bisa menjadi bentuk pemrosesan emosi yang sehat, bukan bentuk kelemahan.
Reaktivitas saat emosi terpicu; baik berupa marah, menangis, atau menutup diri adalah respons alami otak terhadap ancaman. Namun, studi ilmiah menunjukkan bahwa saat kita memberi jeda untuk menyadari dan memahami emosi (alih-alih langsung merespons), sistem saraf dan kekebalan tubuh bekerja lebih optimal.
Apa Itu “Mencerna Emosi”?
Mencerna emosi bukan berarti menolak atau menekan perasaan. Sebaliknya, ini adalah proses mindfulness hadir dalam momen, mengenali apa yang dirasakan, menamainya, dan membiarkannya lewat secara alami.
Seperti makanan yang harus dikunyah dan diolah sebelum masuk ke lambung, emosi pun perlu waktu untuk diproses sebelum diungkap atau ditindaklanjuti.
Saat kamu duduk tenang setelah merasa kecewa, marah, atau takut, dan membiarkan dirimu merasakannya tanpa buru-buru menyalahkan atau bereaksi, itulah momen tubuh dan pikiran bekerja bersama.
Apa Hubungan Antara Diam, Imun, dan Otak?
Beberapa penelitian, seperti yang dimuat dalam Brain, Behavior, and Immunity (2022), menunjukkan bahwa stres psikologis yang tidak tersalurkan dengan sehat dapat menekan fungsi sistem imun.
Sebaliknya, praktik mindfulness seperti diam dalam kesadaran dapat membantu sistem imun kembali seimbang.
Salah satu mekanisme yang terlibat adalah makrofag, sel imun yang bertugas membersihkan bakteri atau zat asing di tubuh. Saat kamu berada dalam kondisi stres kronis atau penuh amarah, makrofag tipe M1 akan aktif secara berlebihan dan bisa menimbulkan peradangan.
Namun, jika emosi diproses dengan sadar, tubuh dapat mengalihkan fungsi ke makrofag M2 yang berperan dalam penyembuhan jaringan dan meredakan peradangan.
Jadi, diam bukan cuma urusan psikologis. Ia berdampak nyata secara biologis.
Saat Temanmu Memilih Diam, Hargailah Itu!
Dalam budaya kita, sering kali orang yang diam setelah konflik dianggap menyimpan dendam, atau bahkan “tidak gentle.”
Padahal, bisa jadi mereka sedang melakukan upaya keras untuk tidak bereaksi destruktif. Mereka sedang memberi ruang untuk dirinya sendiri: sebuah bentuk self love yang penting.
Maka, jika kamu melihat seseorang memilih diam setelah terluka atau kecewa, jangan desak dia untuk segera bercerita atau ‘melupakan saja.’ Biarkan ia mencerna dengan tenang. Kadang, satu-satunya hal yang dibutuhkan hanyalah waktu dan ruang.
Silent Is a Source of Great Strength
Keheningan sering kali mengandung kekuatan yang tak terlihat. Ia mengajarkan kita untuk tidak dikuasai reaksi sesaat. Ia memberi tempat bagi tubuh untuk bernapas, bagi pikiran untuk mereset, dan bagi hati untuk memahami.
Latihan diam tidak harus dilakukan hanya saat ada konflik. Bahkan, kamu bisa menjadikannya bagian dari rutinitas harian:
- Duduk diam selama 5-10 menit sebelum tidur.
- Menulis jurnal saat emosi datang, sebelum berbicara dengan siapa pun.
- Bernapas dalam kesadaran saat tubuh mulai tegang atau gelisah.
Kamu akan terkejut betapa efektifnya “tidak segera merespons” dalam menjaga hubungan dan kesehatan mentalmu.
Diam Bukan Menyerah, Tapi Menyembuhkan
Di dunia yang penuh kebisingan, diam sering disalahpahami sebagai bentuk kekalahan. Tapi diam yang dipilih secara sadar adalah bentuk kekuatan.
Ia bukan sekadar tidak berkata apa-apa, tapi sebuah keputusan untuk memberi ruang bagi pikiran, hati, dan tubuh agar bekerja selaras.
Maka lain kali ketika kamu merasa ingin meledak, cobalah diam sejenak. Biarkan tubuhmu bekerja untukmu. Mungkin, di sana kamu akan menemukan versi dirimu yang lebih utuh dan tenang.
Diam bukan karena tidak punya kata-kata. Tapi karena memilih untuk mendengar suara hati sendiri terlebih dahulu.
Semoga bermanfaat, ya.
Have a nice day!
Referensi:
https://jurnal.umt.ac.id/
https://publications.id/
https://journal-stiayappimakassar.ac.id/
https://journal.pubmedia.id/
https://e-jurnal.jurnalcenter.com/
Post a Comment