aprilhatni.com
aprilhatni.com

Yogya, Bawalah Aku Kembali!

tugu jogja
Pameran seni di kota Yogyakarta sore itu dipenuhi dengan deretan karya yang memikat hati para penikmat seni. Di salah satu sudut galeri, Ajeng memandang sebuah lukisan dengan tatapan kosong.

Lukisan itu, sederhana tapi memancing renungan yang mendalam. Warnanya gelap, namun terdapat secercah cahaya di tengahnya. Cahaya itu seperti mewakili hatinya yang tengah mencari makna di tengah gelapnya kehidupan.

Tanpa ia sadari, seorang pria telah berdiri di belakangnya. Wangi segar parfum khas menelusup ke hidungnya sebelum suara lembut terdengar, “Hai, boleh kenalan?”

Ajeng sontak menoleh. Seorang pria dengan kemeja putih rapi dan senyum menawan berdiri di depannya, mengulurkan tangan. Sekilas, dia terlihat seperti tokoh pria di film romantis.

Namun Ajeng langsung memasang tembok pertahanan dalam dirinya. Di benaknya, pria seperti ini selalu mengundang masalah. Tampan, wangi, rapi, pastilah tipikal laki-laki yang suka mempermainkan perempuan.

Ajeng menatapnya dengan sinis, “Tidak perlu,” jawabnya datar, menepis uluran tangan itu.

Dhana, nama yang tersemat di dadanya dengan kalung kecil dari kulit, tertawa kecil. “Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu, hanya tertarik melihat caramu menatap lukisan itu.”

Ajeng menghela napas, bersiap meninggalkannya. Namun Dhana tidak menyerah begitu saja. Ia melangkah ke samping, memandang lukisan yang sama. 

“Cahaya di tengah kegelapan. Selalu ada harapan, meski hidup tak selalu terang, bukan?” ucapnya tenang, seolah membaca pikiran Ajeng.

Ajeng terhenti. Kalimat itu menghentikan langkahnya. Ia tidak menyangka, bahwa seorang pria ‘perlente’ seperti Dhana bisa menyinggung sesuatu yang begitu mendalam. Namun, egonya masih bertahan. 

“Kamu mau apa sebenarnya?” tanyanya tegas, ingin langsung memotong komunikasi sebelum terlalu jauh.

Dhana menatap matanya, dalam namun lembut. “Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh. Kadang, orang yang kita temui secara kebetulan bisa menjadi bagian dari perjalanan yang tak kita duga.”

Ajeng terdiam, hatinya tergoyah, tetapi ia tetap menghindar. “Aku tak tertarik.”

Namun Yogya, dengan segala pesonanya, sering kali punya cara sendiri untuk mempertemukan takdir. Beberapa hari kemudian, mereka bertemu lagi, kali ini di sebuah acara diskusi seni di tempat yang sama.

Dhana sedang menjadi pembicara tamu. Saat Ajeng melihatnya berbicara di depan khalayak, sesuatu dalam dirinya berubah. Dhana ternyata tidak sekadar tampan dan rapi. Dia cerdas, bijak, dan berbicara dengan penuh makna. Ajeng mulai merasa dirinya terlalu cepat menghakimi.

Setelah acara, Dhana kembali menghampirinya. “Kali ini aku tidak akan bertanya apakah kita bisa berkenalan. Aku hanya ingin mengatakan, aku senang kita bertemu lagi,” ucapnya dengan senyum kecil.

Ajeng menatapnya, kali ini dengan pandangan yang berbeda. “Aku kira kamu hanya pria yang suka main-main.”

“Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya Dhana, wajahnya tampak bingung.

“Karena kamu tampan, wangi, dan rapi. Pengalaman mengajariku bahwa pria seperti itu seringkali... ya, kamu tahu sendiri.”

“Haha…, menarik. Tapi, biar aku buktikan kalau tidak semua pria seperti itu.” ucap Dhana.

“Ajeng Sekar Damayanti,” ucap Ajeng sambil mengulurkan tangan kepada Dhana.

“Hamengku Dhana Buwana,” balas Dhana, menjabat tangan Ajeng dengan erat.

Waktu berlalu, dan Ajeng mulai mengenal Dhana lebih dalam. Ternyata, Dhana adalah keturunan keluarga kerajaan Yogyakarta, keturunan Sultan Hamengkubuwono. Meski begitu, ia lebih memilih hidup dengan kesederhanaan.

Ajeng tidak pernah menyangka pria yang awalnya ia curigai memiliki latar belakang sedalam itu. Namun, justru keturunan darah birunya itulah yang menjadi hambatan besar di antara mereka.

Semakin dekat mereka, semakin Ajeng tahu bahwa hubungan ini tidak akan mudah. Keluarga Dhana memiliki tradisi dan aturan yang ketat soal pernikahan. Seorang keturunan Sultan tidak bisa sembarangan memilih pasangan. Ajeng hanyalah seorang gadis biasa dari keluarga sederhana. Meski hati mereka terikat, dunia mereka begitu berbeda.

“Dhana, kita tidak bisa terus begini,” ucap Ajeng suatu malam saat mereka duduk di tepi alun-alun Yogya, di bawah langit yang penuh bintang.

“Apa maksudmu?” Dhana menatap Ajeng dengan cemas.

“Kamu tahu, keluargamu tidak akan pernah menerima aku. Aku bukan siapa-siapa di mata mereka.”

Dhana terdiam. Ia tahu Ajeng benar, tetapi hatinya menolak menyerah begitu saja. “Aku tidak peduli. Aku akan memperjuangkan kita.”

Ajeng menunduk, air mata menggenang di sudut matanya. “Kamu mungkin tidak peduli sekarang. Tapi nanti, ketika semua orang menentangmu, apakah kamu masih akan bertahan?”

Dhana menggenggam tangan Ajeng, mencoba meyakinkannya. “Ajeng, aku mencintaimu. Aku akan melakukan apa pun untuk kita.”

Namun, hari-hari berikutnya semakin berat. Keluarga Dhana mulai mendesaknya untuk bertunangan dengan gadis pilihan mereka, seorang putri dari keluarga terpandang. Dhana menolak, tapi tekanan semakin besar.

Ajeng merasakan ketidakpastian itu menggerogoti hubungannya dengan Dhana. Mereka mulai bertengkar. Cinta yang awalnya begitu kuat, kini terkikis oleh kenyataan yang tak bisa dihindari.

Pada akhirnya, di sebuah malam yang penuh air mata, Ajeng memutuskan untuk pergi. “Aku tidak ingin melihatmu terjebak dalam pertempuran yang tidak bisa kau menangkan. Lebih baik kita berpisah sebelum semuanya semakin menyakitkan.”

Dhana berusaha menahan Ajeng, tetapi hatinya tahu bahwa ini mungkin keputusan terbaik. “Ajeng, jangan pergi…!”

Namun Ajeng sudah memantapkan hatinya. Ia memeluk Dhana untuk terakhir kalinya, kemudian berjalan menjauh, meninggalkan Dhana di bawah bayang-bayang bintang Yogyakarta.

Bertahun-tahun kemudian, Ajeng kembali ke Yogyakarta. Kota ini selalu memanggilnya, membawa kenangan akan cinta yang pernah ia rasakan begitu dalam. Di salah satu pameran seni, Ajeng kembali berdiri di depan lukisan yang dulu membuatnya termangu. Kali ini, bukan lagi lukisan kegelapan dengan cahaya kecil, tetapi pemandangan indah Yogyakarta di waktu senja.

“Yogya, bawalah aku kembali…” bisiknya pelan.

Lalu, sebuah suara dari belakang menyapanya, membuatnya terkejut. “Hai, boleh kenalan?”

Ajeng menoleh, dan di sana, Dhana berdiri dengan senyum yang sama seperti dulu.

Ajeng terdiam, merasa waktu berhenti sejenak. Dhana, yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini kembali berdiri di depannya dengan senyum yang dulu mampu membuat hatinya bergetar. Seakan seluruh perjalanan hidupnya selama ini hanyalah untuk kembali pada momen ini.

“Hai, Ajeng,” sapa Dhana dengan nada yang lebih lembut. Kali ini, tidak ada lagi kegugupan di balik senyumnya. Hanya ada ketenangan yang dalam, seolah waktu telah mengubahnya menjadi sosok yang lebih dewasa dan bijaksana.

Ajeng menelan ludah, tak tahu harus berkata apa. “Dhana... Aku tak menyangka kita bertemu lagi di sini,” ucapnya dengan suara pelan, berusaha menutupi kegugupannya.

“Yogya memang selalu penuh kejutan, ya?” Dhana tersenyum, namun ada sesuatu di balik tatapan matanya yang sulit dijelaskan oleh Ajeng. Sebuah kehangatan, tetapi juga ada kesedihan yang tertinggal.

Ajeng menatap Dhana, merasa terjebak dalam berbagai perasaan yang campur aduk. Pertemuan ini bukanlah hal yang pernah ia rencanakan. Jauh di dalam hatinya, kenangan tentang Dhana selalu tersimpan, meskipun ia telah berusaha melupakannya. 

Tapi Yogya, kota yang penuh kenangan itu, selalu memiliki cara untuk menarik mereka kembali ke dalam permainan takdirnya.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Dhana? Sudah lama sekali...” Ajeng mencoba membuka pembicaraan, meski hatinya masih berdebar.

Dhana menghela napas, matanya menatap Ajeng dalam-dalam. “Aku sering kembali ke tempat ini. Rasanya seperti aku bisa menemukan bagian dari diriku yang hilang setiap kali kembali ke sini.”

Mereka terdiam, membiarkan kata-kata yang tak terucap menggantung di udara. Suasana sekitar yang dipenuhi orang-orang mengagumi karya seni seolah memudar di telinga mereka. Hanya ada mereka berdua dan kenangan yang kembali menghantui.

“Kamu sudah menikah?” tanya Ajeng tiba-tiba, pertanyaan yang sejak tadi menghantui pikirannya. Ia takut mendengar jawabannya, namun juga merasa harus tahu.

Dhana tersenyum pahit. “Belum. Aku menolak perjodohan itu. Keluarga sempat marah besar, tapi akhirnya mereka mengerti. Aku memilih untuk hidup dengan jalanku sendiri.”

Ajeng merasa dadanya sedikit lega mendengar jawaban itu, tapi ia juga merasa bersalah. “Maaf, Dhana. Kalau waktu itu aku tidak pergi... mungkin semuanya akan berbeda.”

Dhana menggeleng pelan. “Jangan minta maaf, Ajeng. Kita melakukan apa yang kita pikir benar saat itu. Dan mungkin memang harus begitu, agar kita bisa menemukan apa yang benar-benar kita inginkan.”

Ajeng menatap lukisan di depannya, berusaha menahan air matanya. “Dan sekarang? Apa yang kamu inginkan sekarang?”

Dhana terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara rendah, penuh kejujuran. “Aku masih ingin kamu, Ajeng.”

Ajeng terpaku. Kata-kata itu menusuk langsung ke hatinya. Setelah semua tahun berlalu, perasaan itu ternyata masih ada. Dan entah bagaimana, perasaan itu juga masih hidup dalam dirinya. Tapi, keraguan mulai muncul. Apakah ini saat yang tepat? Apakah mereka benar-benar bisa kembali mengulang apa yang telah hilang?

Di bawah langit Yogya yang mulai gelap, mereka berdiri di sana, memeluk satu sama lain. Cinta yang pernah hilang kini kembali. Kali ini, dengan keyakinan bahwa mereka bisa melawan apa pun yang menghalangi.

“Yogyakarta, bawalah aku kembali. Bawa cintaku pulang.”

2 comments

  1. Hy kak ini lagu yang pas untuk ceritamu, Jogja bawa ku kembali (lagi) by the coastline https://www.youtube.com/watch?v=KLbC1k8mRxk

    ReplyDelete