Minggu lalu, saat aku dan beberapa teman melipir sejenak dari rutinitas rumah tangga, hangout singkat yang kami sebut “healing ala emak-emak” ada satu momen yang cukup membekas.
Di tengah obrolan ringan kami, salah satu teman tiba-tiba bertanya kepadaku, “Mbak, apa sih yang membuat kamu sedih?” Lalu ia lanjutkan, “Dan apa juga yang membuatmu bahagia?”
Pertanyaan sederhana, namun menghentakku sejenak. Aku terdiam. Menarik napas pelan, lalu aku pun menjawab, “Yang membuatku sedih... saat aku tak lagi produktif. Saat otakku seperti kosong, tak punya ide. Ketika aku kehilangan semangat untuk menulis dan tak mampu membagikan sesuatu yang berguna di blogku.”
Mereka mengangguk. Mungkin sebagian dari mereka bisa merasakan itu, walaupun tidak semua terbiasa menulis.
Lalu aku melanjutkan, “Dan yang membuatku bahagia? Ketika aku masih bisa menulis dengan lancar, otakku penuh dengan ide-ide segar, aku semangat belajar hal-hal baru, dan aku merasa didukung oleh pasangan serta orang-orang terdekatku.”
Saat pulang, aku tersenyum sendiri sambil berpikir, “Hmm, ternyata ada juga ya yang memperhatikan? Bertanya hal-hal tak terduga seperti itu.” Terasa hangat sih, ini membuatku merasa diperhatikan, hehe...
Dan dari momen kecil itu, aku tersadar bahwa ternyata… kebahagiaanku sangat erat kaitannya dengan proses kreatif.
Menulis Bukan Sekadar Hobi
Menulis bukan cuma kegiatan menuangkan kata ke dalam layar laptop atau lembar kertas. Bagiku, menulis adalah proses menyusun pikiran, menenangkan emosi, bahkan menyembuhkan luka batin.
Saat aku menulis, aku merasa hidup. Seperti ada ruang yang hanya bisa diisi dengan tulisan ruang pribadi yang menghidupkan kembali energi ketika semua hal terasa terlalu bising.
Mungkin kamu juga pernah merasakannya. Ketika ide mengalir deras, dan jemarimu seolah tak mampu mengejar cepatnya pikiran.
Ada kebahagiaan tersendiri saat bisa menyelesaikan satu artikel, satu jurnal harian, atau bahkan hanya satu paragraf yang mengungkapkan isi hati.
Namun, ketika rasa itu menghilang saat otak terasa tumpul, ketika ide-ide lenyap entah ke mana itulah titik sedihku yang paling dalam. Seperti kehilangan bagian dari diri sendiri.
Produktivitas dan Rasa Berharga Diri
Aku menyadari satu hal penting: produktivitas, khususnya dalam hal menulis, sangat berpengaruh pada rasa percaya diriku. Bukan karena aku harus selalu “berhasil” atau menghasilkan sesuatu, tapi karena proses itu sendiri memberiku makna.
Ketika aku bisa menulis, berarti aku masih mampu berpikir, merenung, dan belajar. Aku masih menyerap pengalaman, mengolahnya menjadi insight, lalu membagikannya.
Di situ aku merasa hidupku berguna setidaknya untuk satu orang pembaca yang menemukan makna dari tulisanku.
Dan dari situlah muncul pertanyaan penting untuk kita renungkan bersama: apa yang membuatmu merasa berharga?
Setiap orang punya jawaban berbeda. Tapi jika kamu seperti aku yang merasa berharga saat bisa mengekspresikan diri dan memberi manfaat lewat kata-kata, maka menjaga produktivitas bukan sekadar soal “berprestasi”, tapi soal merawat jiwa.
Dukungan dari Pasangan, Kunci Semangat yang Tak Terlihat
Aku tak bisa menuliskan kisah ini tanpa menyebut peran penting suamiku. Mungkin dia tak paham sepenuhnya tentang isi tulisanku, atau tidak selalu membaca blogku.
Tapi kehadirannya, dukungannya, dan kepercayaannya, itulah bahan bakar yang membuatku tetap semangat.
Ada masa-masa yang mengharukan lagi, adalah pengertiannya terhadap pilihanku.
Saat aku fokus menulis, aku bisa begadang hingga larut malam, bahkan terkadang tidak sempat memasak untuk keluarga. Tapi doi tak pernah marah atau mengeluh dengan apa yang aku lakukan.
Aku pernah berkata padanya,
“Hari ini kita order makanan saja, ya? Karena tulisanku belum selesai, jadi aku belum sempat masak.”
Dan ia hanya menjawab dengan tenang, “Iya, nggak apa-apa.”
“Hari ini kita order makanan saja, ya? Karena tulisanku belum selesai, jadi aku belum sempat masak.”
Dan ia hanya menjawab dengan tenang, “Iya, nggak apa-apa.”
Bukan tentang makanan yang dibeli atau masakan yang tak tersedia, tapi tentang perasaan diterima, dimengerti, dan didukung. Hal sederhana seperti itu bisa membuatku merasa sangat dihargai sebagai istri, ibu, sekaligus pribadi yang sedang berproses.
Dukungan emosional seperti ini sering kali tak terlihat, tapi dampaknya besar. Ia menjadi penyemangat diam-diam di balik layar yang membuatku percaya bahwa aku layak untuk terus berkarya.
Saat Tulisan Tak Lagi Mengalir: Apa yang Bisa Dilakukan?
Kita semua pernah mengalami writer’s block atau kehilangan semangat. Saat-saat seperti itu, jangan terlalu keras pada diri sendiri.
Berikut beberapa hal yang biasa aku lakukan saat “tinta” di dalam diriku terasa kering:
1. Beristirahat sejenak
Kadang, pikiran butuh jeda. Melipir sebentar dari target tulisan bisa menyegarkan ide baru.
2. Membaca ulang tulisan lama
Ini seringkali membangkitkan rasa percaya diri. Kita akan sadar bahwa kita pernah punya suara yang kuat dan bisa kembali menemukan itu.
3. Journaling bebas
Menulis tanpa struktur, hanya menuangkan perasaan, bisa membuka keran ide yang tersumbat.
4. Ngobrol dengan teman sefrekuensi
Obrolan ringan kadang melahirkan inspirasi tulisan yang tak terduga.
5. Berdoa dan meditasi
Hening bisa jadi jalan untuk mendengar isi hati sendiri yang paling jujur.
Menulis Adalah Proses Merawat Diri
Dalam perjalananku menulis sejak 2018, aku menyadari satu hal yang tak pernah berubah: menulis adalah bentuk self-care dan self-love paling dalam.
Saat aku menulis, aku bercakap dengan diri sendiri. Aku belajar mengenali rasa, menerima luka, merayakan syukur, dan merawat luka batin.
Lewat tulisan, aku bisa mendengar suara hatiku yang paling jujur kadang penuh semangat, kadang rapuh dan itu semua kuterima. Karena melalui tulisanku itu, aku menunjukkan bahwa aku mencintai diriku apa adanya: dengan prestasi maupun masa mandek.
Aku pernah menuliskan hal ini lebih panjang lebar di artikel sebelumnya:
Self Love: Seni Mencintai Diri Agar Lebih Bahagia
Di sana, aku menekankan bahwa menulis bukan sekadar menyalurkan kreativitas tapi juga cara merawat hati, memperkuat kesadaran diri, dan memupuk cinta pada diri sendiri.
Maka dari itulah, kebahagiaanku paling murni hadir saat menulis, dan kesedihanku paling dalam muncul ketika tulisan berhenti mengalir.
Bahagia itu Sederhana
Setiap orang punya pemicu sedih dan bahagianya masing-masing. Bagi sebagian orang, mungkin itu soal karier, keluarga, pencapaian pribadi, atau yang lainnya.
Bagiku, semuanya berakar pada satu hal: masih mampukah aku menulis dan berbagi?
Karena bagiku, bahagia itu saat otak penuh ide, dan sedih itu saat tulisan tak lagi mengalir.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir, ya!
Semoga bermanfaat dan menginspirasi.
Have a nice day!
Post a Comment