aprilhatni.com

Suka Duka Saat Menjalani Long Distance Marriage

Post a Comment
kisahku saat menjalani long distance marriage

Long Distance Marriage atau istilah lainnya LDM adalah menjalani sebuah pernikahan jarak jauh dari pasangan. LDM ini aku rasa memang nggak semua orang mengalaminya. 

Bersyukurlah kalian jika tidak pernah mengalaminya, namun bagi yang pernah atau sekarang sedang menjalani LDM nggak perlu juga berkecil hati, karena nggak hanya kamu saja kok, di luar sana juga banyak pasangan suami istri yang terpaksa menjalani hubungan jarak jauh karena suatu hal yang mengharuskan mereka terpisah untuk sementara waktu.

Nah, ngomong-ngomong tentang LDM ini, dulu aku pun pernah mengalaminya lho, dua kali bahkan. Yang pertama, seminggu pasca resepsi pernikahan dan LDM kedua di saat suami menjalani probation di Qatar Petroleum. Mau tahu ceritanya? Begini ceritanya… 

LDM Jilid Pertama

Seminggu setelah resepsi pernikahan diselenggarakan aku dan suami terpaksa menjalani LDM, aku yang harus menyelesaikan kontrak kerja di Yayasan Pupuk Kaltim di Bontang yang tinggal beberapa bulan, sementara itu suami bekerja di TPPI dan tinggal di Tuban, Jawa Timur. 

Saat itu sebenarnya suami agak keberatan jika aku harus melanjutkan kontrak, namun aku rasa tidak profesional jika harus terpaksa memutuskan kontrak sepihak tanpa alasan yang kuat dan mendasar pun aku pun berfikir jika perbuatan tersebut akan mencoreng almamaterku.

    “Sudah, nggak usah balik ya. Nanti aku ganti deh gajinya, dua kali lipat? Mau kan?” bujuk suami kala itu.

    “Kan sebentar lagi, beberapa bulan aja kok. Sabar ya! Kan sayang kalau nggak diselesaikan. Iya kan?” rayuku padanya. 

Meskipun tanpa dijawab pun aku sudah mengetahui bahwa doi sangat berat melepaskan ku saat itu. Sebenarnya bukan aku berniat untuk tidak patuh terhadapnya, namun aku merasa mempunyai beban moral terhadap almamater juga para dosen, khususnya dosen Bahasa Indonesia yang saat itu mendukungku untuk melamar kerja di YPK.

Menikah di bulan April 2007 dan kontrak kerja baru selesai di bulan Juli 2007, meskipun tiga bulan namun jujur saja terasa berat. Bagaimana cara melewatinya saat itu? 

Di saat kami menjalani LDM kala itu, dibutuhkan komitmen yang sangat kuat. Selain itu hal yang terpenting adalah saling percaya (menjaga kepercayaan pasangan), keterbukaan dan komunikasi yang baik satu sama lain. Karena ketiga pilar tersebut yang menyangga kelanggengan sebuah hubungan apalagi ketika jarak memisahkan.

Saat menjelang keberangkatanku ke Bontang, kami berdua berkomitmen untuk menjaga hati masing-masing, dan yakin bahwa suatu saat akan tiba waktunya untuk berkumpul. Pun saling menjaga kepercayaan masing-masing.

Hampir tiap hari kami berkomunikasi, baik melalui email, chat Yahoo Messenger maupun via telepon. Saat itu memang media sosial belum menjamur seperti sekarang, hanya ada email, Friendster dan Yahoo Messenger.

Smartphone pun saat itu belum banyak  variannya dan yang memiliki pun jarang, termasuk kami, jadi hanya memanfaatkan fasilitas yang ada.

Seru sih kalau mengingat waktu itu, dulu ketika mau video call pada jam istirahat, menggunakan komputer di kantor dan itu pun harus memilih yang ada kameranya karena cuma ada beberapa saja, hehe... Loh berarti Laptop juga nggak punya? Ah jangankan Laptop, Smartphone aja nggak ada.  

Oh ya, biasanya malam hari (tepatnya dini hari) kami baru berkomunikasi melalui telepon. Kenapa dini hari? Karena saat itu ada salah satu provider menawarkan program free menelepon pukul 00.00 hingga 04.00, lumayan ngirit kan? hehe…

Tantangan lainnya adalah dari rekan kerja di kantor, terkadang mereka suka bercanda yang nggak banget deh, hehe… Namun aku sendiri menanggapinya santai, meskipun dalam hati suka menangis sih. 

Alhamdulillah, meskipun minimnya fasilitas yang mendukung LDM saat itu, namun dengan menanamkan tiga hal yang kusebutkan di atas tadi kami pun melewatinya, tepat di bulan Juli 2007 kontrak selesai dan aku berkumpul kembali dengan suami.

kunci utama saat menjalani long distance marriage

LDM Jilid Kedua

Long Distance Marriage kami yang kedua di saat suami diterima kerja di perusahaan Qatar Petroleum. Saat itu keluarga tidak serta merta bisa langsung dibawa, suami berangkat terlebih dahulu ke Qatar, karena harus melewati probation selama tiga bulan, setelah itu baru keluarga bisa diboyong. 

Sementara suami menjalani probation di Qatar, aku memilih untuk tinggal di rumah bapak ibuku yang berada di Nganjuk. Rumah kami yang di Tuban terpaksa kami kosongkan, pertimbangan kami waktu itu, jika ada hal yang sifatnya emergency tidak ada yang membantu, oleh karenanya aku memilih tinggal di Nganjuk. 

Di rumah orang tuaku ini, aku dan anak merasa terhibur, berkumpul dengan keluarga besar jadi tidak merasa kesepian. Meskipun begitu aku akui bahwa ini LDM terberat yang harus kami lalui, karena kami sudah memiliki anak. Iba rasanya ketika melihat anak harus terpisah dengan ayahnya, walaupun dia masih bayi dan belum paham betul orang tuanya. 

Lagi-lagi kepercayaan, komitmen dan komunikasi yang harus kami pelihara dalam menjalani LDM jilid kedua ini. Kepercayaan yang kita bangun, tidak adanya saling menginterogasi satu sama lain. Komitmen, dengan mengembalikan tujuan awal bahwa LDM ini hanyalah bersifat sementara dan itu dikarenakan untuk tujuan hidup berdua.

Terakhir adalah komunikasi. Meskipun versinya tak seperti jilid pertama, hehe… komunikasi ini perlu dibangun. Komunikasi melalui telepon maupun biasanya kami lakukan setiap hari (pagi hari) di saat anak masih melek dengan melibatkan anak, hal itu ditujukan agar anak paham kalau salah satu orang tuanya berada di tempat yang jauh serta untuk membangun bonding bersama. 

Memang kuakui terkadang kami pun bertengkar lewat SMS maupun telepon, biasanya salah paham atau berbeda pendapat. Pernah juga beberapa minggu kami tak berkomunikasi karena ada masalah tertentu, namun pada akhirnya kami berdua menyadari adanya komitmen di atas segala-galanya, akhirnya ego pun harus segera disingkirkan.

Anaklah yang menjadi pemersatu di saat terjadi “miscommunication” di antara kami berdua. Dengan mengirimkan foto atau video anak untuk membuka percakapan adalah cara jitu ketika kami mengalami “jeda” dalam berkomunikasi. 
April Hatni
Saya adalah seorang ibu dari dua anak, sekarang berdomisili di Qatar. Saya sangat tertarik dengan Desain, Parenting, dan Psikologi.

Related Posts

Post a Comment